Suasana berbuka puasa di Masjid Cheng Hoo Surabaya (Istimewa) |
Banyak tradisi unik yang dijumpai selama Ramadhan. Salah satunya, berbagi hidangan berbuka ataupun sahur. Di kalangan masyarakat Timur Tengah, tradisi iki akrab disebut ma’idat ar-rahman atau “hidangan Tuhan”. Belakangan, tradisi ini banyak dilakukan kaum Muslim di seantero dunia.
Di Indonesia, tradisi seperti ini banyak digelar di masjid- masjid, perkantoran, dan yayasan-yayasan tertentu. Termasuk yang dilakukan masyarakat di wilayah Surabaya dan Sidoarjo. Kaum muslim yang shalat Magrib di masjid-masjid saat Ramadhan, tak perlu takut tidak bisa membatalkan puasa. Karena makanan di tempat-tempat ibadah ini, selalu melimpah.
Kini, tradisi ini selangkah lebih maju. Jamuan berbuka atau sahur bisa diantarkan (delivery) langsung kepada mereka yang tengah berpuasa. Ada yang disalurkan di jalan-jalan atau tak sedikit yang diantar di depan rumah.
Berbuka di Masjid Al Akbar Surabaya (Istimewa) |
Sejak kapankah tradisi maidat ar-rahman itu muncul?
Ada banyak versi sejarah yang menyebutkan perihal awal mula tradisi tersebut. Dalam esai berjudul “Mawaid Ar Rahman; Tarikh min At Taqarrub Ila Allah” dalam koran Al Ahraam Du’a Kamal diuraikan beberapa versi sejarah munculnya tradisi memberikan hidangan atau berbuka itu.
Ia mengatakan bahwa sebagian pakar sejarah meyakini akar tradisi “hidangan Tuhan” sudah muncul pada zaman Rasulullah SAW. Saat berada di Madinah, sejumlah delegasi dari Thaif yang masuk Islam memutuskan berdomisili sementara di kota yang konon bernama Yatsrib itu. Rasulullah bersama Bilal bin Rabah mengantarkan sajian berbuka dan sahur kepada mereka.
Tradisi positif ini dilanjutkan oleh para khalifah sesudah Rasulullah. Khalifah Umar bin Khatab bahkan pada 71 H mendirikan Dar Ad Dhiyafah, sebuah lembaga yang didirikan khusus untuk menyambut para tamu dan melayani mereka yang berpuasa.
Aktivitas inipun menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya di kawasan Arab dan wilayah sekitar. Di Mesir, misalnya, tradisi tersebut tumbuh dan berkembang sebagai bagian budaya yang mengakar di masyarakat. Menurut Du’a, sang kolumnis, tradisi “hidangan Tuhan” di Mesir memiliki sejarah panjang. Ia menyebut, Al Laits Bin Sa’adlah yang menyebarkan tradisi itu. Ia adalah ahli fikih yang kaya dan hartawan.
Meskipun santapannya selama Ramadhan sangat sederhana, tetapi ia menyajikan menu terlezat bagi mereka yang berpuasa. Menu favorit yang disajikan kala itu ialah bubur, hingga terkenal dengan sebutan “bubur al-Laits”.
Berbuka puasa di Masjid Al Azhar Mesir. (Istimewa) |
Ketika Ahmad Ibn Thulun mendirikan Dinasti Thulun pada 868 M-967 M, tepatnya pada tahun keempat masa pemerintahannya, ia mengumpulkan para jenderal, saudagar, dan tokoh-tokoh penting dalam jamuan pada hari pertama puasa. Dalam pertemuan itu, ia menyerukan agar mereka berbagi atas keleluasaan harta yang mereka miliki terhadap para dhuafa dan golongan yang membutuhkan.
Sedangkan, pada era Dinasti Fatimiyah (909-1171 M) berdiri lembaga yang dikenal dengan sebutan Dar Al Fithrah. Salah satu tokoh terkemuka yang aktif bergelut dan menghidupkan tradisi ini lewat lembaga itu ialah Amir Ibn Ad Dharrat.
Ia memiliki tanah yang menghasilkan juataan dinar setiap tahunnya. Sebagian harta tersebut ia infakkan setiap Ramadhan dengan menyediakan hidangan yang panjangnya mencapai 500 meter.
Saat Khalifah Muiz Liddinillah berkuasa, ia memberikan hidangan berbuka bagi para orang yang berpuasa. Lokasinya dipusatkan di Masjid Amru Bin ‘Ash. Selama Ramadhan, ia mengeluarkan 1.100 jenis makanan dari istananya untuk dibagikan kepada para fakir dan kaum dhuafa pada bulan suci ini.
Kampoengrasa mengucapkan terima kasih kepada tetangga, sahabat, kolega, pelanggan baru, yang telah mengamanahkan tradisi berbagi ini kepada kami. Sejak awal hingga menjelang akhir Ramadhan seperti sekarang...
Sumber: https //republika.co.id/berita/ramadhan/tradisi-ramadhan/prwf37313/sejarah-tradisi-berbagi-hindangan-berbuka-dan-sahur